Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa para ulama kita berbeda pendapat tentang hukum menggunakan hak suara dalam pemilu. Sebagian ulama melarang, dan sebagian ulama membolehkan, karena pertimbangan maslahat dan mafsadat.
Kewajiban kita dalam masalah ini adalah menyikapinya dengan dewasa dan lapang dada karena kita tidak berhak memaksakan orang lain harus sependapat dengan kita, sebagaimana telah kami bahas lebih luas dalam buku kami “Untaian Nasehat Menghadapi Pemilu”.
Namun ada satu hal yang perlu kita renungkan bersama bahwa apapun pilihan dan sikap kita, hendaknya bagi kita untuk mempersiapkan hujjah, argumentasi dan alasan kuat kelak di hadapan Allah kenapa kita memilih atau tidak memilih. Dan kalau kita memilih kenapa memilih si fulan, apakah karena pertimbangan ilmu atau karena transaksi dunia.
Sebagian saudara kami mengira bahwa tidak memilih lebih aman, lebih selamat, dan lebih hati-hati. Kami katakan: Hak anda untuk tidak memilih, kami tidak memaksa anda untuk sependapat dengan kami, tapi perlu diketahui bahwa tidak milih juga adalah sebuah sikap dan pilihan yang harus mampu dipertanggungjawabkan kelak di akherat.
Dalam ilmu Ushul Fiqih, para ulama menegaskan bahwa at tark/meninggalkan termasuk bagian dari fi’il/perbuatan juga, sebagaimana dalam Al Quran, hadits dan lisan para sahabat.
Allah berfirman:
كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ
Artinya: Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. Al Maidah: 79)
Dalam ayat ini, Allah menyebut bahwa sikap mereka tidak melarang sebagai “perbuatan”.
Demikian juga sabda Nabi:
المُسْلِمُ مَن سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِن لِسانِهِ ويَدِهِ
“Muslim sejati adalah yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Muslim: 41)
Dalam hadits ini, Nabi menyebutkan bahwa meninggalkan gangguan adalah sebuah keislaman.
Begitu juga ucapan salah seorang sahabat Nabi saat perang khandaq:
لئن قَعَدْنا والنبي يَعْمَل ** لذاك مِنَّا العَمَلُ المُضَلَّل
Seandainya kita duduk/tak ikut bekerja, sedangkan Nabi bekerja
Maka itu merupakan perbuatan kami yang keliru.
(Lihat masalah ushul fiqih ini dalam Jam’ul Jawami’ 1/214, Syarh Mukhtashar Ibnul Hajib 2/13, 14, Al Mustashfa 1/90, Al Muwafaqat 4/419, Al Ihkam 1/112, Irsyadul Fukhul hlm.91, Ushul Sarakhsi 1/79-80, At Tahqiqat wa Tanqihat As Salafiyyat Ala Matnil Waraqat hlm. 79-80 Syeikhuna Masyhur Hasan Salman)
Intinya, apapun pilihan kita baik milih untuk memilih atau milih untuk tidak memilih, siapkan hujjah kita di hadapan Allah. Begitu juga saat kita milih untuk memilih, siapkan alasan kita memilihnya, apakah karena ilmu atau karena dunia.
Semoga Allah Dzat yang membolak balik hati memilihkan pilihan yang terbaik untuk kita, dan negeri kita. Amin ya Rabbal Alamin
Silahkan disebarkan, semoga bermanfaat, Allah berkahi dan mudah2an anda mendapatkan bagian dari pahalanya. Aamiin
Barakallah fikum.
Ditulis oleh,
Ustâdz. Abu Ubaidah Yusuf ibn Mukhtar as-Sidawi ḥafiẓahullāh.
(Pemred Majalah Al-Furqon / Ma’had Al-Furqon Gresik)