Antara Khadijah, Thaif dan Isra’ Mi’raj (Between Khadijah, Taif and Isra’ Mi’raj)

Oleh: Dr. Ahmad Musyaddad Tahun ke-sepuluh dari kenabian, tahun yang dicatat dalam sejarah Islam sebagai ‘Aamul Huzni (tahun duka cita). Tahun ketika Abu Thalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi dinding kokoh yang membentengi aktivitas dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekah meninggalkan dunia untuk selamanya. Kepergian yang menyisakan lara yang begitu perih di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan hanya karena Abu Thalib adalah paman yang sekaligus memegang posisi sebagai ayah sejak sang kakek wafat di masa kanak-kanak beliau. Hal yang membuat baginda begitu pilu adalah karena sang paman tercinta tak sempat mengucap kalimat tauhid hingga raga meregang nyawa. Kepergian Abu Thalib justru menjadi angin segar bagi Abu Jahal dan kawan-kawannya. Mereka bergembira dan bersuka cita, sebab dalam benak mereka dinding kokoh yang selama ini menghalangi mereka untuk bisa menjamah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah runtuh. Mereka bergembira sebab sebentar lagi tipu dan makar apa saja yang mereka ingin lakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa mereka laksanakan, tanpa ada penghalang dan tanpa ada kekhawatiran. Wafatnya Abu Thalib, bukan puncak kesedihan yang mengoyak jiwa Sang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan akhir dari kepiluan yang mengisi episode demi episode kehidupan beliau di tahun itu. Tetapi di sana, di tempat tidur beliau, sosok wanita yang terkasih terbujur kaku, bersiap-siap menghadapi jemputan Malaikat maut. Wanita yang selama ini menjadi penyokong utama sejak dakwah ini bermula, Khadijah binti Khuwailid. Beliau tak mampu menunda kehadiran ajal, tak mampu menahan nyawa yang kan keluar berpisah dengan jasad suci nan mulia itu. Dan begitulah, sang kekasih tercinta pergi untuk selamanya. Kekasih yang selalu beliau sebut-sebut namanya di hadapan orang lain, “Dia yang beriman kepadaku ketika orang-orang tak mau percaya, yang membenarkanku ketika semua mendustakanku, yang menyokongku dengan segenap jiwa dan hartanya ketika yang lain terdiam.” Jika Abu Thalib adalah bumper Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah sosial dan politik, maka Khadijah adalah sandaran hati dan jiwa beliau di saat suka dan duka, setelah Allah yang Maha Kuat. Wafatnya kedua orang tercinta ini menjadi babak baru kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekah. Kehidupan yang semakin sulit dan penuh dengan ancaman dan terror. Kaum musyrikin semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Mereka semakin membabi buta menganiaya sahabat yang lemah dan menindas kaum muslimin tanpa secuil rasa kasihan. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat menyusuri lembah demi lembah kota Mekah, mendaki bebukitan cadas menuju kota Thaif. Di dalam hati beliau ada secercah harapan akan ada pertolongan dari penduduk dan tokoh-tokoh Thaif. Namun kenyataan terkadang tak seindah harapan. Di Thaif, Beliau justru memperoleh hinaan, persekusi, bahkan penganiayaan. Setelah ditolak dan dihinakan oleh tiga tokoh yang menjadi pemuka kota itu, Nabi beranjak meninggalkan Thaif. Tapi tidak berakhir di situ, di sepanjang jalan yang akan dilalui Nabi, penduduk Thaif sudah siap dengan batu menunggu beliau melintas. Orang tua, muda, anak-anak, lelaki maupun perempuan tak ketinggalan melempari tubuh beliau yang mulia. Beliau dilempai sampai terjatuh, lalu dibangunkan dan dilempari lagi hingga jatuh, kemudian dibangunkan dan dilempari lagi hingga berlumur darah, sampai-sampai sandal beliau basah dengan kucuran darah dari sekujur tubuh suci nan mulia itu. Saat itu, datanglah malaikat penjaga gunung mengajukan tawaran kepada Sang Nabi, “Wahai Muhammad, apa pendapatmu jika al-Akhsyabain, dua gunung yang mengapit kota Thaif ini aku hempaskan kepada mereka yang menyakitimu itu?” Apa jawab Nabi yang mulia ini? “Tidak. Aku hanya berharap kelak generasi yang lahir dari tulang sulbi mereka adalah generasi yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah”. Beliau hanya memilih beranjak kembali ke Mekah. Dengan tertatih beliau pulang meninggalkan sepenggal kisah pilu itu di balik bongkahan demi bongkahan batu cadas yang memisahkan kota Thaif dan Mekah. Mekah terasa hampa bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dinginnya udara malam hanya melengkapi intaian demi intaian mata yang siap menerkam. Kini tak ada lagi Abu Thalib yang menjadi tameng beliau di hadapan tokoh-tokoh Quraisy dan manuver jahat mereka. Suasana rumah pun berubah sunyi, tak ada lagi Khadijah yang biasanya menenangkan gundah ketika masalah berat mendera. Tak ada lagi kekasih setia itu, yang menghibur dan menjadi pelipur lara di kala sulit, seperti ketika dahulu beliau pulang dari gua Hira. Dinding-dinding rumah yang membisu itu hanya menghadirkan memori yang indah di hari-hari yang silam, di sana ada sang kekasih menyambut hangat kedatangannya, di sisi ini Khadijah bermain dengan Zainab, di situ ia membacakan puisi buat Ummu Kulsum, sisi lain menghadirkan bayangan sang kekasih memberi ASI kepada si bungsu Fatimah, dan sisi yang lainnya menghadirkan bayangan Ruqayyah yang dirias Ibunya saat malam pengantinnya. Dalam suasana itulah, Jibril datang dan membawa beliau menuju Masjid di saat manusia terlelap tidur. Di sanalah dada beliau dibelah dan disucikan untuk ketiga kalinya, demi suatu peristiwa yang sangat menakjubkan sepanjang sejarah manusia. Beliau dibawa dengan kendaraan yang tidak seperti hewan melata biasa yang disebut Buraq. Dalam kejapan mata, beliau sudah sampai di Tanah Syam, di Bumi Palestina. Dari masjid al-Aqsha yang mulia, beliau kemudian diangkat ke langit demi langit, bertemu dengan Nabi-nabi mulia yang telah mendahului beliau, hingga sampai ke Sidratul Muntaha, berkeliling melihat keajaiban demi keajaiban di tujuh langit sana, hingga akhirnya beliau menerima perintah shalat lima waktu dari Allah. Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan tasliyah dari Allah yang Maha Rahim dan Rahman bagi sang Nabi. Begitulah Allah menghibur NabiNya di masa-masa sulit itu. Sebab shalat adalah energi terbesar seorang mukmin untuk menggapai kemenangan hakiki, kemenangan diri dan kemenangan umat. Nanti kemudian kita mengerti, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, beri kami beristrahat dengan mendirikan shalat.” Seperti mengertinya kita dengan ungkapan beliau, “Dijadikan kebahagiaanku ada pada shalat.” Di sinilah kita paham, bahwa seberat apapun masalah kita, sepelik apapun problem kehidupan kita, jawabannya adalah SHALAT. #Khazanah_Makkah #Jejak_Sirah #Sekolah_Mutawwif_Indonesia Mekah, 25 Rajab 1445 H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *